Dan jika Anda pernah mendengarkan lagu Tak Mungkin Berpaling yang dinyanyikan band asal Malaysia, Slam, maka Anda pasti pernah mendengar bunyi “salah sangka yang direncanakan”. Itu bunyi yang sangat merdu, dan Anda pasti sangat mudah memahami apa itu “salah sangka yang direncanakan”, walau Anda mungkin akan gagal memahami apa itu Gerismis Menungundang atau Tiada Kata Secantik Bahasa. Dan sesungguhnya wajar jika kita dibuat bingung oleh bahasa Malaysia karena ia tidak, walau seolah, kita pahami, sebab memang terdapat sejumlah perbedaan mendasar dalam tata dan kebiasaan berbahasa kita dengan mereka, meski bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia mempunyai sejumlah kosakata yang sama.
Seriuslah!
Mengutak-atik Al-Quran
Saya sepenuhnya mengimani bahwa di antara orang-orang Yahudi, Nasrani, dan agama-agama lain, ada tidak sedikit orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, serta beramal saleh, dan Allah berjanji tidak akan menyia-nyiakan amal saleh mereka (lihat QS Al-Baqarah [2]: 62). Dengan demikian, adanya non-Muslim yang beriman dan beramal saleh adalah kenyataan yang diakui oleh Al-Quran, bukan sekadar pernyataan Nurcholish Madjid maupun Mun’im Sirry.Yang akan saya persoalkan adalah metode “utak-atik Al-Quran” Mun’im Sirry dalam tulisannya itu, di mana ia sendiri sudah menduga bahwa metode “utak-atik” Al-Quran yang ia tawarkan akan memancing kontroversi. Saya berbaik sangka bahwa kontroversi yang muncul kemudian adalah reaksi alami pembaca, bukan kontroversi yang memang diharapkan. Dan berbaik sangka tentu saja tetaplah berprasangka (baik), sebuah sikap yang dianjurkan ketika kita sulit untuk yakin.
Menurutnya, “kita harus tahu, kanonisasi teks al-Qur’an menjadi mushaf seperti kita lihat sekarang melalui proses editing yang panjang… Ulama-ulama Muslim mengakui, sejumlah alif ditambahkan ke dalam al-Qur’an.”
Timbul pertanyaan, apakah proses editing itu tetap disesuaikan dan tidak boleh bertentangan dengan hapalan para sahabat, ataukah para sahabatlah yang harus menyesuaikan hapalan mereka dengan mushaf hasil editing?
Lalu, ada berapa dan siapa saja ulama-ulama Muslim yang mengakui bahwa sejumlah alif ditambahkan ke dalam Al-Quran? Ataukah “ulama-ulama” itu berarti semua ulama, sehingga Mun’im Sirry tidak menuliskan “di antara ulama-ulama” atau “sejumlah ulama”, sebagaimana ketika ia menuliskan “sejumlah alif”?
Bagaimana pula dengan “sejumlah alif” itu? Ada berapa? Banyak? Sedikit? Seberapa banyak? Seberapa sedikit? Dan yang paling penting, adakah penambahan alif yang mengakibatkan perubahan makna dalam ayat-ayat Al-Quran, sehingga apa yang sebelumnya dipahami sebagai 'A' mendadak menjadi 'B' setelah ditambahkan alif padanya? Jika demikian, kita harus tahu di mana saja sejumlah alif itu ditambahkan, ayat mana saja yang kehilangan keperawanan gara-gara si alif, ayat mana pula yang tetap perawan meski bermesraan dengan si alif. Ini penting, agar tidak ada lagi ayat yang kehilangan keperawanan gara-gara diperkosa oleh alif-alif kekinian, dan agar tidak ada pula ayat yang kehilangan jati dirinya hanya karena alifnya dikebiri!
Surah Al-Kafirun
Sekitar tahun 2010, saya pernah membaca sebaris status Facebook: “Katakanlah (wahai Muhammad): Hai orang-orang kafir!” Meski status itu dibuat sebagai bahan guyon, namun ia memberi kita sudut pandang, betapa berbahayanya tanda seru (!) yang ditambahkan kemudian, dan betapa berbahayanya jika kita menganggap setiap ayat dalam Al-Quran itu dapat berdiri sendiri. Apa jadinya jika ayat “Maka celakalah orang-orang yang shalat” (lihat QS Al-Ma’un [107]: 4) dianggap berdiri sendiri?Nah, bagaimana kita membaca surah Al-Kafirun?
Menurut Mun’im Sirry, “Salah satu problem dalam surat al-Kafirun ialah pesannya yang tidak sinkron. Ayat terakhir ‘lakum dīnukum wa-liya dīn’ (bagimu agamamu dan bagiku agamaku) acapkali dikutip sebagai dalil toleransi dalam al-Qur’an. Padahal, lima ayat sebelumnya bersifat eksklusif karena menafikan Tuhan orang-orang kafir. Bunyi dua ayat pertama, ‘Wahai orang-orang kafir, saya tidak menyembah apa yang kalian sembah.’”
Untuk menyinkronkan pesan toleransi surat ini, maka ia menyarankan agar kata “tidak”, yakni lā (dengan alif) yang tadinya dibaca panjang itu, kini dibaca pendek sehingga ia berubah bentuk menjadi penegasan. Dalam ilmu tata-bahasa Arab (nahw), ini dikenal dengan lām al-taukīd, yaitu lām yang dibaca pendek, karena, menurutnya, alif baru ditambahkan belakangan.
Jika alif dihilangkan dari kata “lā” (tidak), maka surat al-Kafirun dapat diterjemahkan begini:
(1) Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir
(2) Sebenarnya aku menyembah apa yang kamu sembah.
(3) Dan kamu juga penyembah apa yang aku sembah.
(4) Dan aku penyembah apa yang kamu sembah.
(5) Dan kamu pun penyembah apa yang aku sembah.
(6) (Kendatipun demikian) untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
Benarkah jenis kelamin Surah Al-Kafirun itu tidak jelas, karena alifnya baru ditambahkan belakangan, sehingga si alif palsu perlu dikebiri demi kejelasan identitas Surah Al-Kafirun? Saya tidak tahu, karena saya memang tidak tahu ada berapa dan di mana saja sejumlah alif baru ditambahkan belakangan ke dalam Al-Quran. Dan karena saya tidak tahu pasti apakah sejumlah alif dalam Surah Al-Kafirun itu asli atau palsu, maka saya mustahil punya keberanian untuk bergagah-gagah ‘memurnikan’ Surah Al-Kafirun.
Daripada kita bermumet pilu memikirkan keaslian sejumlah alif, tentu lebih baik jika kita membedah “logika sederhana” Mun’im Sirry, yang membuatnya menuduh, eh, menduga, bahwa pesan Surah Al-Kafirun itu tidak sinkron. “Logika sederhana” itu ialah bahwa “Tuhan orang-orang kafir berbeda dari Tuhannya kaum Muslim”. Benarkah Surah Al-Kafirun berkata demikian?
Kita perlu mencatat sejumlah hal mengenai Surah Al-Kafirun ini. Pertama, Surah Al-Kafirun tidak berbicara tentang Tuhan (rabb/ilāh/Allah) sebagaimana, antara lain, dalam Surah Al-Ankabut (29) ayat 46, Al-Hajj (22) ayat 40, dan Al-Baqarah (2) ayat 62, tetapi membahas tentang penyembah dan sesembahan.
Kedua, kata kunci utama yang menunjukkan perbedaan sesembahan antara “ana” dan “antum” pada Surah Al-Kafirun ada pada ayat 4, yaitu “’mā abadtum” (sesembahan antum selama ini). Untuk lebih jelasnya, mari kita perhatikan pola ayat 2-5:
Ayat 2 menggunakan a’budu dan ta’buduna. Dua-duanya fi’l mudhari’ (present/future tense). Ayat ini juga tidak dibolak-balik dan tanpa pengulangan sebagaimana ayat 3-5.
Sedangkan ayat 3-5 tidak sekadar dibolak balik dan diberi pengulangan, tapi juga diberi tekanan pada pilihan kata yang digunakan. Di sini, ana dan antum tidak dibedakan dalam statusnya sebagai penyembah, tetapi yang dibedakan adalah apa yang disembah: a’budu diperlawankan dengan abadtum. Abadtum adalah fi’l madhi (kata kerja lampau atau past tense).
Demi kejelasan, Surah Al-Kafirun dapat diterjemahkan begini:
(1) Katakanlah (wahai Muhammad): “Hai orang-orang yang kafir,
(2) Ana tidak akan pernah menyembah apa yang antum masih sembah entah sampai kapan itu.
(3) Dan antum (setidaknya sampai kini) bukanlah penyembah apa yang kini dan selamanya akan ana sembah.
(4) Dan ana bukan penyembah apa yang antum sembah selama ini. (Sebagian sahabat ana dulu pernah menyembahnya juga, tetapi kini itu tak akan pernah mereka lakukan lagi.)
(5) Dan antum (setidaknya sampai kini) bukanlah penyembah apa yang kini dan selamanya akan ana sembah.
(6) Bagi antum agama antum, bagi ana agama ana.”
Bagi Anda yang mengerti bahasa Arab, cobalah bayangkan jika surah ini dibaca sepenuh khusyuk oleh Sayyidina Umar r.a. yang mantan begundal kafir itu. Lalu rasakanlah betapa berbedanya lā a’budu yang diucapkan Umar yang pernah menyembah berhala, dengan lā a’budu yang diucapkan oleh orang yang tidak pernah menyembah berhala. Rasanya sangat berbeda, walau alifnya sama-sama masih utuh.
Sampai di sini, kita bisa mengambil hikmah mengapa ayat 2 tidak dibalik, dan dicukupkan sekali saja sebagaimana ayat 4. Sebagai ikrar untuk tak mungkin berpaling ke lain sesembahan, 5 ayat pertama memang bersifat eksklusif. Tapi itu tidak serta-merta berarti menafikan Tuhan orang-orang kafir. Ia hanya membedakan sesembahan orang-orang kafir dengan sesembahan kaum Muslimin, menegaskan keteguhan kaum Muslimin, sembari memberi peluang kepada orang-orang kafir untuk masuk Islam.
Ketiga, “Salah, bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa, bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama kerukunan.” Demikian pesan Prof. M. Quraish Shihab. Maka toleransi sejati adalah bersepakat bahwa setiap penganut agama berhak untuk mengikrarkan kesetiaan kepada agamanya masing-masing, yang puncaknya hanya bisa dicapai jika setiap penganut agama bersepakat untuk tidak lagi saling mempengaruhi, apalagi saling menyalahkan dan bertengkar satu sama lain. Jika kaum Muslim berhak menolak Kristenisasi, maka kaum Kristiani pun berhak menolak Islamisasi. Bahkan, orang kafir pun berhak untuk menolak Islamisasi dan Kristenisasi, karena Al-Kafirun pun, menurut Surah Al-Kafirun, adalah orang-orang yang beragama.
Baik buruknya kualitas kemanusiaan atau akhlak kita tidak ditentukan oleh apakah kita beragama atau tidak, tetapi seberapa teguh kita bersetia kepada agama dan iman kita. Sudah pernahkah engkau melihat orang-orang yang berdusta atas nama agama alias mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan pemenuhan kebutuhan pangan bagi yang miskin (lihat QS Al-Ma’un [107]: 1=3). Itu saja sudah disebut Al-Quran sebagai mendustakan agama, bagaimana pula dengan merampas lahan pertanian orang miskin? Ah, sebaiknya Anda membaca sendiri Surah Al-Baqarah ayat 8-20, agar monolog ini tak terlalu panjang.
Lagi pula, siapakah sebenarnya yang paling berhak mewakili Al-Quran? Tidak bisakah Al-Quran berbicara sendiri?
Muslim Sirri
Anak manusia yang bersusah payah bersekolah sampai tingkat S-III (SMA) hanya untuk kemudian menjadi pengangguran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar